HARI GURU (DOSEN) NASIONAL

CIREBON, IKMI.AC.ID – Pada dunia pendidikan pasti tidak akan terlepas dari kata guru. Guru adalah sosok yang memegang peran penting dalam keberlangsungan dunia pendidikan. Di sekolah, guru adalah pendidik yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswa. Di perguruan tinggi, guru disebut dengan dosen. Lantas kenapa tidak ada hari dosen? Diramu dari berbagai sumber, berikut adalah jawabannya.

Penggunaan kata dosen sebagai pengganti kata guru menimbulkan tanda tanya. Kata dosen berasal dari bahasa Belanda, yaitu docent atau dozent dari bahasa Jerman. Dalam bahasa Inggris, dosen disebut dengan lecturer. Kemudian, kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “dosen”. Kata itu berarti staf pengajar di perguruan tinggi. Istilah dosen semakin dikenal sejak dokter Belanda, H.F. Roll mengubah Sekolah Dokter Djawa menjadi STOVIA pada tahun 1899. Pada saat yang sama, STOVIA mulai menerima mahasiswa dari luar pulau Jawa. Antara lain mahasiswa dari Minangkabau, Celebes (Sulawesi), dan Sumatera.

H.F. Roll mengajar di STOVIA (sumber:geheugen.delpher.nl)

Profesi dosen kerap dianggap dengan pekerjaan yang “kurang menguntungkan” dan “tidak bisa kaya”. Mungkin hal ini yang terkadang membuat profesi dosen dipandang sebelah mata. Mengapa ada mengatakan hal tersebut? Salah satu yang mengatakan demikian berpandangan dari faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Selain alasan SDM-nya yang kurang mumpuni, faktor prospek masa depan juga dipertimbangkan. Dalam hal ini lebih mengarah kepada percepatan peningkatan karir. Menjadi dosen tidak mudah untuk dapat meningkatkan karir. Selain butuh waktu lama, syarat-syaratnya juga cukup rumit. Tri Dharma Perguruan tinggi, dijabarkan menjadi banyak poin yang harus dipenuhi. Jika ditilik soal materi, maka percepatan peningkatan gajinya pun sejalan dengan karirnya, cukup lambat. Tidak seperti pegawai swasta, misalnya Bank, yang memiliki percepatan gaji yang sangat cepat. Sebuah perkecualian bagi dosen yang memiliki jiwa enterpreneur, tentu bisa memiliki pendapatan melebihi gajinya sendiri. Inilah alasan yang membuat lulusan terbaik lebih memilih untuk berkarir dengan percepatan peningkatan yang cepat.

Jika mengingat bahwa dosen adalah guru, dan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka dosen juga termasuk profesi yang mulia. Mendidik, Meneliti dan Mengabdi kepada masyarakat. Itulah yang dilakukan dosen. Pikiran ini mungkin masih ada di sebagian benak lulusan terbaik, yang lebih mementingkan urusan mengamalkan ilmu daripada mencari materi semata. Namun tentu sangat sedikit.

Dikti saat ini sedang gencar mengkampanyekan peningkatan kualitas SDM dosen, agar tidak lagi menjadi profesi kelas dua. Berbagai Beasiswa Unggulan, baik dalam maupun luar negeri diberikan bagi lulusan terbaik dan berprestasi. Program Fast-Track yang mempercepat studi bagi calon dosen juga diberikan. Tentunya program di atas memiliki ikatan dengan Dikti agar kelak lulusan benar-benar menjadi dosen, bukannya setelah disekolahkan malah “kabur” dan menjadi seorang expert. Bukti adanya ikatan ini ditunjukkan dari program Beasiswa Unggulan Dikti yang mewajibkan lulusannya untuk magang selama 3 tahun di sebuah perguruan tinggi. Jika tidak, maka biaya selama studi harus diganti. Program fast track juga begitu. Mahasiswa yang berprestasi ditawarkan beasiswa sebelum lulus. Jadi saat mahasiswa tersebut masih belum diiming-imingi oleh gemerlap materi dari perusahaan swasta, Dikti sudah mengikatnya untuk menjadi dosen yang harus bersedia di tempatkan di seluruh Indonesia.

Setiap tanggal 25 November, di Indonesia ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional. Hal ini dilaksanakan  sebagai bentuk penghormatan terhadap guru yang telah berjuang dalam membentuk karakter generasi muda. Hari Guru Nasional merupakan momen penting bagi setiap negara untuk merayakan peran guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hari Guru Nasional tidak hanya menjadi wadah untuk menghargai pengabdian para pendidik, tetapi juga mencerminkan rasa syukur terhadap jasa guru dalam membangun pondasi pendidikan bangsa. Sejarah Hari Guru Nasional berawal pada tahun 1945. Pada waktu itu, terbentuklah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) setelah sebelumnya Persatuan Guru Indonesia (PGI) menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia perdana di Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 24-25 November 1945. Kemudian tanggal 25 November secara resmi ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1994. Pemilihan tanggal 25 November tidaklah sembarangan; itu dipilih untuk menghormati lahirnya Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia yang dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi rakyat.

Hari Guru Nasional bukan hanya sekadar perayaan seremonial. Lebih dari itu, ini adalah momen refleksi untuk memahami betapa pentingnya peran guru dalam mengarahkan generasi muda menuju masa depan yang lebih baik. Guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, moralitas, dan sikap positif siswa.

Peringatan ini juga mengajak semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun siswa, untuk memberikan apresiasi dan dukungan terhadap dunia pendidikan. Memberdayakan guru dengan memberikan fasilitas dan pelatihan yang memadai merupakan investasi dalam pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan dinamika sosial, peran guru tidak lagi terbatas pada pengajaran di kelas. Guru juga berperan sebagai fasilitator pembelajaran, pembimbing, dan inspirator. Keberhasilan pendidikan tidak hanya bergantung pada guru di sekolah atau dosen di kampus, akan tetapi juga melibatkan dukungan dari keluarga dan masyarakat.

Bagi para dosen, semoga kita semua mendapatkan ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah. Aamiin YRA… (RK).

?>